Kesultanan Palembang Darussalam

Posted by e-putra Senin, 09 Mei 2011 19.44
1. Sejarah
Menurut riwayat, berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam diawali dengan eksistensi Kerajaan Palembang pada abad ke-15. Berdirinya Kerajaan Palembang merupakan dampak atas penaklukan Kerajaan Sriwijaya oleh Majapahit pada tahun 1375 Masehi (Nugroho Notosusanto & Marwati Djoenoed, 1993:71). Selepas penaklukan, ternyata Majapahit tidak dapat mengontrol wilayah Sriwijaya dengan baik yang berakibat terjadinya dominasi oleh para saudagar dari Cina (Tiongkok) di wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Palembang itu.
Atas pengaruh dari orang-orang Cina itu, besar kemungkinan bahwa itulah asal-muasal penamaan “Palembang”. Salah satu faktor penguatnya adalah seperti yang tercantum dalam karya dua orang penulis asal Cina, yakni Chau Ju Kua dengan karya berjudul Chufanshi (1225 M) dan Toa Cih Lio hasil karya Wong Ta Yuan (1345 – 1350 M). Dalam kedua karya tersebut tercantum kata “Palinfong” untuk menyebut bandar dagang di wilayah yang sekarang kita kenal dengan nama Palembang (Djohan Hanafiah, 1995:16; www.unitkerja.palembang.go.id).

a. Lahirnya Kesultanan Palembang Darussalam
Pengaruh kuat orang-orang Cina berakhir ketika Kerajaan Majapahit mengirimkan utusannya untuk memimpin Palembang. Utusan itu bernama Arya Damar, putra Prabu Brawijaya V atau Bre Kertabumi (1468 - 1478 M), raja terakhir Majapahit versi naskah-naskah babad dan serat (http://id.wikipedia.org/wiki/Brawijaya).
Setibanya di Palembang, Arya Damar segera membangun kekuatan untuk merebut kembali pengaruh yang telah dipegang oleh orang-orang Cina. Bersama dengan Demang Lebar Daun, putra Sultan Mufti, penguasa di daerah Pagaruyung, Minangkabau, Arya Damar berhasil mendapatkan kembali pengaruh di wilayah Palembang yang sempat lepas (http://dodinp.multiply.com/journal/).
Tentang Demang Lebar Daun, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dalam Sejarah Melayu (1612), menulis sebagai berikut: “… ada sebuah negeri di tanah Andalas, Perlembang namanya, Demang Lebar Daun nama rajanya, …” (Hanafiah, 1995:19). Sebagai catatan, bahwa nama “Perlembang” di dalam Sejarah Melayu sama artinya dengan nama “Palembang” seperti yang dikenal sekarang.
Arya Damar yang kemudian memeluk Islam, mengganti namanya menjadi Arya Abdillah atau Arya Dillah dan menikah dengan anak Demang Lebar Daun yang bernama Puteri Sandang Biduk. Setelah berhasil menguasai Palembang, Arya Dillah menobatkan diri sebagai raja yang berkuasa antara tahun 1445 – 1486 M (Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin, 2008:8).
Arya Dillah pernah mendapat hadiah seorang selir dari Prabu Brawijaya V, yaitu perempuan keturunan Cina yang dikenal sebagai Puteri Champa. Ketika dibawa ke Palembang, Puteri Champa tengah mengandung. Setelah resmi diperistri oleh Arya Damar, lahirlah bayi yang diberi nama Raden Patah (Badaruddin, 2008:8). Raden Patah ini nantinya akan menjadi raja pertama di Kesultanan Demak (1476 – 1568 M) bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama (1478 – 1518 M) (http://id.wikipedia.org/wiki/).
Pada awalnya, Kerajaan Palembang menempati daerah yang bernama Kuto Gawang sebagai pusat pemerintahan. “Gawang” dalam bahasa Jawa kuno diartikan sebagai “terang benderang” (L. Mardiwarsito, 1986, dalam Retno Purwanti, 2004:175). Setelah terjadi pergantian beberapa kali penguasa, pada sekitar tahun 1610 M, Kerajaan Palembang menjalin hubungan dengan VOC (Vereenigde Oost indische Compagnie). Dalam perkembangan kemudian, ternyata hubungan antara VOC dengan Kerajaan Palembang menyisipkan perang besar yang terjadi pada tahun 1659 M.
Dalam perang tersebut VOC membumihanguskan Kuto Gawang. Akibatnya, Raja Palembang saat itu, Pangeran Seda Ing Rajek, melarikan diri ke Inderalaya (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Ogan Kumering Hilir). Sepeninggal Pangeran Seda Ing Rajek, tampuk kepemimpinan di Kerajaan Palembang diserahkan kepada Ki Mas Hindi Pangeran Arya Kesuma (Retno Purwanti, 2004:20).
Perang antara Kerajaan Palembang – VOC pada tahun 1659 di Kuto Gawang pada tahun 1659.
Hancurnya Kuto Gawang sebagai pertanda berakhirnya eksistensi Kerajaan Palembang dan berpengaruh terhadap pemindahan pusat pemerintahan dan pemukiman penduduk ke arah yang lebih ke hulu, yang terletak antara Sungai Rendang dan Sungai Tengkuruk. Daerah ini kemudian dikenal dengan nama Beringin Janggut. Setelah kehancuran Kerajaan Palembang, maka lahirlah Kesultanan Palembang Darussalam.
Pemindahan pusat Kerajaan Palembang Darussalam dari Kuto Gawang ke Beringin Janggut berpengaruh juga terhadap sistem pemerintahan yang kemudian menjadi Kesultanan Palembang Darussalam (Purwanti, 2004:20). Sebagai pemimpin yang pertama dari kesultanan ini adalah Ki Mas Hindi Pangeran Arya Kesumo yang kemudian ditabalkan oleh Badan Musyawarah Kepala-kepala Negeri Palembang dengan gelar Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (1659 - 1706 M), yang pada masa akhir hayatnya bergelar Sunan Cinde Walang (Badaruddin, 2008:19).
Di masa pemerintahannya, Ki Mas Hindi atau Sultan Abdurrahman mencoba menjalin ikatan dengan Kesultanan Mataram Islam (Hanafiah, 1995:193). Akan tetapi, upaya tersebut mengalami kegagalan. Beberapa kali utusan dari Palembang ditolak menghadap Sultan Mataram. Penolakan itu membuat Sultan Abdurrahman berkeputusan untuk memutuskan hubungan dengan Mataram (Hanafiah, 1995:193-195). Keberanian Sultan Abdurrahman memutuskan hubungan dengan Kesultanan Mataram Islam karena ia mendapat dukungan Kesultanan Istanbul dari Dinasti Turki Usmani (Badaruddin, 2008:16).
Jika dilihat dari sejarahnya, terdapat ikatan yang kuat antara Jawa-Palembang. Seperti diketahui, anak tiri dari Arya Dillah, raja pertama Kerajaan Palembang, adalah Raden Patah (1478 – 1518 M), pendiri Kesultanan Demak. Setelah Demak runtuh, sisa-sisa kerajaan ini pindah ke Jawa bagian timur dan menjadi Kesultanan Pajang (1549 – 1587 M). Kesultanan Pajang pada akhirnya menjadi bagian dari Kesultanan Mataram Islam (http://id.wikipedia.org).
b. Kesultanan Palembang Darussalam di Era Kolonial
Setelah Sultan Abdurrahman wafat pada tahun 1706 M, tahta kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam diteruskan oleh putranya yang bergelar Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706 - 1714 M). Nama Jayo Ing Lago (Jaya di laga) diperoleh karena sebelum menjadi sultan, ia memenangkan peperangan di Jambi. Pada tahun 1714 M, Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago meninggal dunia dan dimakamkan di Kebon Gede (Kelurahan 32 Ilir, Palembang) (Badaruddin, 2008:21).
Sepeninggal Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, terjadi perebutan tahta di Kesultanan Palembang Darussalam. Konflik bermula dari gugurnya Pangeran Purbaya yang seharusnya dinobatkan menjadi sultan. Tahta Kesultanan Palembang Darussalam kemudian dilimpahkan kepada Sultan Agung Komaruddin Sri Truno (1714 – 1724 M), adik dari almarhum Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago. Para putra Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, yaitu Raden Lembu dan Pangeran Adipati Mangkubumi Alimuddin, menolak keputusan itu dan melakukan perlawanan.
Sultan Agung Komaruddin berinisiatif berdamai dengan kedua keponakannya itu dengan mengangkat Pangeran Adipati Mangkubumi Alimuddin sebagai Sultan Anom Alimudin dan Pangeran Jayo Wikramo sebagai Pangeran Ratu Jayo Wikramo. Dengan demikian, Kesultanan Palembang Darussalam memiliki 3 sultan pada masa yang sama, hanya saja dalam struktur pemerintahan, kedudukan Sultan Agung Komaruddin tetap paling tinggi.
Solusi tersebut ternyata tidak membuat Pangeran Adipati Mangkubumi Alimuddin puas, karena ia merasa Pangeran Ratu Jayo Wikramo lebih diuntungkan dengan mendapatkan istri dari putri Sultan Agung Komaruddin bernama Ratu Rangda. Hal ini mengakibatkan terjadinya konflik antar Sultan Anom Alimuddin dan Pangeran Ratu Jayo Wikramo. Pangeran Ratu Jayo Wikramo menang sehingga mengantarkan dirinya sebagai sultan dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo atau Sultan Badaruddin I (1724 – 1758 M) dan berhak menggantikan Sultan Agung Komaruddin sebagai pemimpin Kesultanan Palembang Darussalam (Badaruddin, 2008:26-27).
Sultan Badaruddin I adalah sosok pemimpin yang berwawasan luas dan agamis. Sultan pernah menulis kitab berjudul Tahqidul Yakin. Selain itu, Sultan Badaruddin I juga seorang petualang di mana ia pernah menyinggahi Makassar, Johor, Kelantan, Kedah, Siam, Timur Tengah, dan lain sebagainya (Badaruddin, 2008:27).
Sultan Badaruddin I menggagas pentingnya pembaharuan di lingkungan Kesultanan Palembang Darussalam dengan cara mengintrodusir pengetahuan dan perkembangan teknologi namun tanpa meninggalkan tradisi lama. Ia telah melakukan perubahan dan pembangunan ke arah yang lebih maju, misalnya dengan membangun Gubah Talang Kenanga (1728 M), Gubah Kawah Tekurep (1728 M), Keraton Kuto Lamo (1737 M), dan Masjid Agung Palembang (1738 M) (Badaruddin, 2008:27-28).
Sultan Badaruddin I wafat pada tanggal 3 Muharam 1171 H atau 17 September 1757 M dan penerusnya adalah Sultan Ahmad Najamuddin I (1758 – 1776 M). Pada masa pemerintahannya, Sultan Ahmad Najamuddin I membangun menara Masjid Agung Palembang pada tahun 1757 M dan membuat kontrak perdagangan dengan Belanda terutama untuk komoditi lada dan timah, serta memperbaharui kontrak perdagangan yang telah dibuat pada masa pemerintahan para sultan sebelumnya. Sultan Ahmad Najamuddin I wafat pada tanggal 6 Dzulqaidah 1190 H (1776 M) (Badaruddin, 2008:31-32).
Tahta Kesultanan Palembang Darussalam selanjutnya dipegang oleh Sultan Muhammad Bahauddin (1776 – 1804 M) yang membangun Istana Benteng Kuto Besak. Selain itu, bersama Aceh, Palembang Darussalam menjadi salah satu pusat sastra agama Islam di nusantara. Sultan Muhammad Bahauddin wafat pada tanggal 21 Dzulhijjah 1218 H atau 2 April 1804 M (Badaruddin, 2008:33-34).
Penggantinya adalah Raden Muhammad Hasan bergelar Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II) (1804 – 1821). Sultan Badaruddin II dikenal sebagai ulama, Imam Besar Masjid Agung, ahli bela diri, dan penulis. Beberapa karyanya antara lain: Syair Nuri, Pantun Sipelipur Hati, Sejarah Raja Martalaya, dan Nasib Seorang Ksatria Signor Kastro (Badaruddin, 2008:35).
Sultan Badaruddin II dikenal sebagai tokoh pejuang melawan Inggris dan Belanda, seperti pada Peristiwa Loji Sungai Aur (1811-1812), Perang Palembang (1819-1821). Namun, akhirnya Kesultanan Palembang Darussalam mengalami kekalahan. Sebagai konsekuensi, pada tanggal 3 Juli 1821, Sultan Badaruddin II dan putra sulungnya, Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu, dibuang ke Ternate, Maluku Utara, hingga Sultan Badaruddin II wafat di sana pada tanggal 26 November 1852. Atas perjuangannya melawan penjajah, Sultan Badaruddin II mendapatkan anugerah sebagai Pahlawan Nasional dari pemerintah RI pada tahun 1984 (Badaruddin, 2008:36).
Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman atau lebih dikenal dengan Sultan Badaruddin II.
Pada masa pemerintahan Sultan Badaruddin II, beliau mengangkat Pangeran Adimenggala Raden Muhammad Husin bergelar Sultan Ahmad Najamuddin II Husin Diauddin (1813 – 1821). Sultan Ahmad Najamuddin II Husin Diauddin merupakan adik dari Sultan Badaruddin II. Selain itu, diangkat pula putra sulungnya sebagai sultan bergelar Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819 - 1821) (Badaruddin, 2008:7, 37, 39).
Sultan Ahmad Najamudin II Husin Dhiauddin (1813 - 1821) adalah adik dari Sultan Badaruddin II. Secara berselingan, mereka berdua bergantian dalam memimpin kesultanan. Hal itu terjadi karena Sultan Badaruddin II pernah hijrah ke Muara Rawas antara tahun 1813 hingga tahun 1818.
Selain itu, pada tahun 1818, Sultan Badaruddin II pernah dipecat oleh Inggris dan Belanda yang pernah menguasai wilayah Kesultanan Palembang. Pemecatan ini dijadikan alasan untuk mengangkat Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu pada 1819 (Badaruddin, 2008:39-40).
Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819 - 1821) adalah putra sulung dari Sultan Badaruddin II yang dilantik pada tahun 1819. Sehingga di masa pemerintahan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (antara tahun 1819-1821), terdapat tiga sultan yang memimpin secara bergantian dalam satu waktu, yaitu Sultan Badaruddin II (1804 – 1821), Sultan Ahmad Najamudin II Husin Dhiauddin (1813 - 1821), dan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819 - 1821).
Pelantikan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu didasari atas pemecatan yang dilakukan Belanda dan Inggris terhadap Sultan Badaruddin II. Meskipun telah dipecat, tetapi secara adat Sultan Badaruddin II tetap dianggap sebagai pengampu kekuasaan tertinggi di Kesultanan Palembang Darussalam (Badaruddin, 2008:39-40).
Pada masa peperangan dengan Belanda, Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu menjabat sebagai komandan pertahanan Benteng Martapura di perairan Sungai Musi. Beliau bahu membahu dengan sang ayah (Sultan Badaruddin II) untuk berperang melawan kaum kolonial. Akan tetapi perlawanan ayah-anak ini harus berakhir, karena pada tanggal 3 Juli 1821, Sultan Badaruddin II dan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu, dibuang ke Ternate, Maluku Utara.
Sebelum diasingkan ke Ternate, Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu beserta keluarga dan para pengikut setianya, termasuk permaisuri, sejumlah anaknya, para ulama, dan panglima kesultanan, diasingkan ke Batavia terlebih dahulu. Tidak semua keluarga dan para pengikut setianya, termasuk selir dan sebagian anak-anaknya, dibawa ke pengasingan karena keterbatasan kapal (Badaruddin, 2008:39-40).

Denah Kraton Kesultanan Palembang Tahun 1811

Keterangan:

A. Istana Sultan B. Keputren
C. Gerbang utama ke istana D. Paseban
E. Ruang menerima tamu F. Istana Pengeran Ratu
G. Gerbang uitama ke istana lama H. Meriam
I. Menara J. Masjid

Pasca pembuangan Sultan Badaruddin II dan Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu, tampuk kepemimpinan diteruskan oleh Sultan Ahmad Najamudin II Husin Dhiauddin (1813 – 1821). Pada tahun 1821, Sultan Ahmad Najamudin II Husin Dhiauddin melantik puteranya yang bergelar Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821 – 1823) (Sultan Najamuddin II). Pada masa kepemimpinan Prabu Anom, Kesultanan Palembang Darussalam berada di bawah kontrol kekuasaan Belanda dan mulai masuk pula pengaruh dari Inggris (Badaruddin, 2008:41).
Akibat berbagai tekanan dari pihak Belanda dan Inggris yang menyudutkan posisi Kesultanan Palembang Darussalam, Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom sering melakukan perlawanan. Perlawanan tidak hanya dilakukan di pusat pemerintahan, akan tetapi menyebar sampai ke daerah-daerah, hingga Belanda menjuluki Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom dengan gelar Sultan Amuk. Akhirnya perlawanan yang dilakukan oleh Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom terhenti karena ia ditangkap pada tahun 1823.
Setahun kemudian, pada tanggal 6 Desember 1824, Sultan Ahmad Najamudin II Husin Dhiauddin yang merupakan ayah dari Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom, diasingkan ke Batavia dan wafat di sana pada tanggal 22 Februari 1825 (Badaruddin, 2008:38). Di sisi lain, Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom akhirnya juga diasingkan pada tahun 1825 ke Banda kemudian ke Menado. Pada tahun 1844, Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom wafat di Manado (Purwanti, 2004:20). Terhitung sejak tertangkapnya Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom selaku sultan terakhir di Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1823, maka secara resmi Kesultanan Palembang Darussalam telah dihapuskan oleh Belanda (Purwanti, 2004:21).
c. Upaya Membangkitkan Kesultanan Palembang Darussalam
Kebesaran Kesultanan Palembang Darussalam di masa silam membuat beberapa pihak berupaya untuk membangkitkannya kembali. Kenangan indah yang mengendap selama 157 tahun (1666 - 1823), diusahakan dibangun kembali dengan kemunculan dua tokoh yang merasa sebagai pewaris tahta Kesultanan Palembang Darussalam, yaitu Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H dan Ir. H. Raden Mahmud Badaruddin (Taufik Wijaya, 2008 dalam http://dodinp.multiply.com/journal dan Kemas Ari, 2006, dalam www.kesultanan-palembang-darussalam.com).
Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H. bin Raden H. Abdul Hamid Prabudiradja IV adalah seorang perwira polisi yang bertugas di Kepolisian Daerah Sumatra Selatan. Pada tanggal 3 Maret 2003, bertempat di Masjid Lawang Kidul, Majelis Musyawarah Adat Kesultanan Palembang Darussalam menobatkan Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H. sebagai Sultan di Kesultanan Palembang Darussalam dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan Mahmud Badaruddin III) (Kemas Ari, 2006, dalam www.kesultanan-palembang-darussalam.com).
Ada dua alasan yang mendasari pengangkatan Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H. Pertama, berdasarkan wawancara dengan harian Sumatera Ekspres, pada tanggal 11 Maret 2003, dengan judul “Saya Menerima Wangsit”, Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H mengaku menjadi Sultan Mahmud Badaruddin III karena menerima wangsit (Taufik Wijaya, 2008 dalam www.detiknews.com).
Kedua, menurut silsilah Kesultanan Palembang Darussalam, Drs. Raden H. Muhammad Sjafei Prabu Diradja, S.H. merupakan keturunan ke-11 dari Sultan Abdurrahman. Sehingga jika dirunut secara garis keturunan, beliau adalah putera dari Raden H. Abdul Hamid Prabu Diratdjah IV, bin R.H. Sjarif Prabu Diratdjah III, bin R. H. Abdul Habib Prabu Diratdjah II, bin Pangeran Prabu Diratdjah Haji Abdullah, bin Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II), bin Sultan Muhammad Bahauddin, bin Sultan Ahmad Najamuddin I, bin Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Badaruddin I), bin Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago, bin Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (Kemas Ari, 2006, dalam www.kesultanan-palembang-darussalam.com).
Tokoh kedua yaitu Ir. H Raden Mahmud Badaruddin, adalah Ketua Umum Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam yang dilantik pada tanggal 4 September 2005 di halaman Benteng Kuto Besak. Pada tanggal 18 November 2006, para zuriat (keturunan) sepuluh sultan yang pernah berkuasa di Palembang beserta zuriat Melayu di Sumatra Selatan melakukan musyawarah yang akhirnya mengukuhkan Ir. H Raden Mahmud Badaruddin sebagai Sultan Palembang Darussalam dengan gelar Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. Pelantikan beliau dilakukan pada tanggal 19 Desember 2006 di halaman Dalam Benteng Kuto Besak (Badaruddin, 2008:43).
Alasan penobatan Ir. H Raden Mahmud Badaruddin sebagai Sultan Palembang Darussalam didasari atas silsilah Sultan Palembang Darussalam. Raden Iskandar Mahmud Badaruddin merupakan keturunan dari dua sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Palembang Darussalam, yaitu Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago dan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Badaruddin, 2008:43-44).

2. Silsilah
Penulisan silsilah Kesultanan Palembang Darussalam berikut ini merupakan rangkuman dari beberapa sumber, yaitu: Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada; Retno Purwanti. 2004. “Situs Bersejarah di Palembang”, dalam Achadiati Ikram (ed.). Jatidiri yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara; dan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. 2008. Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam. Palembang: Kraton Kesultanan Pelambang Darussalam.
Silsilah para pemimpin Kesultanan Palembang Darussalam sebagai berikut:
1. Sultan Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Iman (1659 – 1706 M)
2. Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706 – 1714 M)
3. Sultan Agung Komaruddin Sri Truno (1714 – 1724 M)
4. Sultan Anom Alimudin (Meskipun menjadi sultan tetapi tidak memerintah)
5. Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Sultan Badaruddin I) (1724 – 1758 M)
6. Sultan Ahmad Najamuddin I (1758 – 1776 M).
7. Sultan Muhammad Bahauddin (1776 – 1804 M)
8. Paduka Sultan Mahmud Badaruddin Khalifatul Mukminin Sayidul Iman (Sultan Badaruddin II) (1804 – 1821)
9. Sultan Ahmad Najamuddin II Husin Diauddin (1813 – 1817)
10. Sultan Ahmad Najamuddin III Pangeran Ratu (1819 – 1821)
11. Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom (1821 – 1823)
12. Sultan Mahmud Badaruddin Prabudiradja (Sultan Mahmud Badaruddin III) (2003 – sekarang) dan Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin (2006 – sekarang)
3. Sistem Pemerintahan
Menurut Hanafiah (1995), selama memerintah, Sultan Abdurrahman telah meletakkan tata kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yang kuat. Dalam bidang pemerintahan, ia menerapkan sistem perwakilan di daerah pedalaman atau dikenal dengan istilah raban dan jenang. Undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuatnya dituangkan dalam bentuk piagem (piagam), yang harus dilaksanakan oleh setiap daerah yang masuk dalam pengaruh kekuasaan Palembang, seperti Bangka, Belitung, sebagian Jambi (Muara Tembesi), Bengkulu (Kepahiang/Rejang), dan Lampung (Tulang Bawang/Mesuji) (Hanafiah, 1995:197-200).
Dalam bidang pertanian, Sultan Abdurrahman mewajibkan bagi daerah-daerah tertentu untuk mengembangkan tanaman lada. Ia juga membuat sistem perairan yang dibuat antara Ogan, Komering, dan Mesuji, yang tidak saja digunakan untuk pertanian, namun juga untuk kepentingan pertahanan (Hanafiah, 1995:197-200).
Dalam mengatur pemerintahan, para penguasa di Kesultanan Palembang Darussalam memilih sikap kompromistis terhadap penduduk setempat. Salah satu sikap kompromistis penguasa dilakukan dengan jalan lembaga perkawinan (Hanafiah, 1995:169). Sebagai contoh, Sultan Abdurrahman pernah melangsungkan perkawinan dengan puteri penguasa Bangka. Imbas dari perkawinan tersebut, Sultan Abdurrahman mendapatkan warisan kepulauan Bangka yang kemudian masuk ke dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam (Hanafiah, 1995:169).
Selain menggunakan lembaga perkawinan, penguasa di Kesultanan Palembang Darussalam juga menunjukkan sikap untuk lebih menghormati adat setempat yang berlaku di masing-masing komunitas adat. Kehidupan hukum masyarakat yang ada di bawah kekuasaan sultan biasanya berjalan sesuai dengan tradisi masing-masing. Tetapi kadang-kadang mereka terdesak sampai musnah. Di lain, tempat konstruksi hukumnya mengalami perubahan hak ulayat kepala-kepala (rakyat yang telah turun-temurun misalnya, tetap berlaku seperti sediakala, tetapi selanjutnya disebut-sebut seolah-olah didasarkan atas satu karunia daripada seorang sultan (B.J.O Schrieke, 1974 dalam Hanafiah:169-170)
Sikap kompromis Kesultanan Palembang dapat dibuktikan ketika Undang-Undang Simbur Cahaya dibuat untuk dijadikan pedoman terhadap kekuasaan yang berlaku di daerah. Undang-Undang Simbur Cahaya merupakan suatu pedoman yang mengatur adat pergaulan bujang gadis, adat perkawinan, piagam, dan lain sebagainya. Undang-undang ini disusun oleh Pangeran Sedo Ing Kenayan Jamaluddin Mangkurat IV (1639 – 1650 M) bersama sang istri, Ratu Senuhun, ketika Kesultanan Palembang Darussalam masih berbentuk Kerajaan Palembang (Badaruddin, 2008:9). Undang-Undang Simbur Cahaya masih dijadikan pedoman meskipun bentuk kerajaan telah beralih ke bentuk kesultanan.
Menurut J.W. van Royen, para sultan tidak melakukan apapun selain mengukuhkan (vastleggen) hukum adat yang berlaku di daerah-daerah (J.W. van Royen, 1927:40 dalam Hanafiah, 1995:170). Sikap penguasa Palembang secara jelas digambarkan oleh P. dee Roo de Faille (1971:40 dan 57),
“Orang Pasemah bukan semata-mata orang bawahan, mereka lebih merupakan kawan-kawan seperjuangan dari Sultan yang dilindunginya, meskipun mereka … telah menerima penjagaan batas (sindang) sebagai tugas dan mengikat diri untuk mentaati beberapa peraturan yang menunjuk pengakuan daripada kekuasaan” (P. dee Roo de Faille, 1971 dalam Hanafiah, 1995:170).
Secara stuktural, sultan menempatkan diri sebagai penguasa tertinggi. Kedudukan sultan bermakna dua, sebagai pemimpin wilayah sekaligus sebagai pelindung agama Islam. Pemerintahan tersusun dengan adanya pembagian menurut wilayah dan hukum, yaitu ibukota kesultanan yang berupa istana dan mancanegara yang berupa lingkungan di luar wilayah ibukota kesultanan (daerah-daerah). Pembagian wilayah mancanegara tidak didasarkan atas pertimbangan teritorial, namun lebih disebabkan karena faktor kegunaan atau manfaat wilayah tersebut. Atas dasar itulah, maka muncul wilayah-wilayah sebagaimana berikut:
1. Sindang
Sindang adalah sebutan untuk suatu daerah yang berada di perbatasan wilayah kesultanan. Penduduk di daerah sindang memperoleh status mardika (merdeka atau bebas). Tugas utama penduduk daerah perbatasan adalah menjaga perbatasan (Hanafiah, 1995:171).
2. Kepungutan
Kepungutan merupakan sebutan bagi daerah yang langsung berada dalam pengawasan kekuasaaan sultan. Kepungutan merupakan daerah bebas pajak tetapi mempunyai kewajiban lain yang disebut tiban atau tukon. Tiban adalah kewajiban bagi penduduk di daerah kepungutan untuk memproduksi komoditi ekspor seperti lada atau menambang timah. Komoditi ini menjadi hak (monopoli) Kesultanan Palembang Darussalam dalam pemasarannya. Sedangkan tukon dalam pelaksanaanya tidak jauh berbeda dengan tiban. Hanya saja dalam tukon dipergunakan uang sebagai alat pembayaran (Hanafiah, 1995:171).
3. Sikap
Sikap merupakan suatu wilayah yang dibentuk dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan perekonomian di Istana Kesultanan Palembang Darussalam. Pada umumnya daerah sikap terikat dengan kewajiban seperti menyediakan tenaga pengangkut hasil produksi istana dan menyiapkan keperluan-keperluan istana (Hanafiah, 1995:171). Daerah sikap secara khusus menjadi tanggungjawab golongan priyayi yang disebut dengan jenang (pemimpin suatu wilayah di luar ibukota kesultanan). Hanya saja, kekuasaannya sebatas masa jabatannya saja. Sebagai golongan rakyat, pihak petani bisa diperkenankan untuk membuka tanah (sikap), namun harus membayar pajak atas tanah dan hasil pertanian. Meskipun demikian, baik golongan priyayi maupun rakyat petani, mereka sama-sama tidak berhak mewariskan jabatan dan tanahnya.
4. Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam berawal dari daerah hulu Sungai Palembang (Kuto Gawang, lokasi Pabrik Pupuk Sriwijaya (PUSRI) (Purwanti, 2004:20). Wilayah kekuasaan tersebut kemudian menyebar ke Beringin Janggut (kini berada di daerah yang dikenal degan Masjid Lama di Jalan Segaran) (http://id.wikipedia.org/).
Dari wilayah Sumatra Selatan, wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam meluas ke beberapa daerah seperti Bangka, Belitung, sebagian Jambi (Muara Tembesi), Bengkulu (Kepahiang/Rejang), dan Lampung (Tulang Bawang/Mesuji). Perluasan wilayah ini sebagian besar terjadi ketika Kesultanan Palembang Darussalam berada di bawah pemerintahan Sultan Abdurrahman (Hanafiah, 1995:197-200).
Referensi
• B.J.O. Schrieke. 1974. Penguasa-Penguasa Pribumi, Jakarta: Bharata dalam Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.
• “Brawijaya ” diunduh dari http://id.wikipedia.org.
• Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.
• J.W. van Royen. 1927. De Palembangsche Marga en Haar Grond-en Waterrechten. Leiden : GL van den Berg dalam Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.
• Kemas Ari, 2006, “Sultan Di Mata Taufik Wijaya”, diunduh dari kesultanan-palembang-darussalam.com. pada 15 Desember 2009.
• “Kesultanan Demak”, diunduh dari id.wikipedia.org, pada 16 Desember 2009.
• “Kesultanan Mataram”, diunduh dari id.wikipedia.org, pada 16 Desember 2009.
• “Kesultanan Pajang“, diunduh dari id.wikipedia.org, pada 16 Desember 2009.
• “Kesultanan Palembang”, diunduh dari id.wikipedia.org, pada tanggal 16 Desember 2009.
• Kms H Andi Syarifuddin. 2008. “Mengenal Adat Istiadat Palembang”, diunduh dari dodinp.multiply.com, pada 14 Desember 2009.
• L. Mardiwarsito. 1986. Kamus Jawa Kuno – Indonesia. Endeh: Nusa Indah dalam Retno Purwanti. 2004. “Situs Bersejarah di Palembang”, dalam Achadiati Ikram (ed.). Jatidiri yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara.
• Marwati Djoenoed Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Cetakan ke-4. Jakarta: Balai Pustaka.
• P. dee Roo Faille. 1971. Dari Zaman Kesultanan Palembang. Jakarta: Bharata dalam Djohan Hanafiah. 1995. Melayu-Jawa: Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafido Persada.
• “Raden Patah”, diunduh dari id.wikipedia.org, pada 15 Desember 2009.
• Retno Purwanti. 2004. “Situs Bersejarah di Palembang”, dalam Achadiati Ikram (ed.). Jatidiri yang Terlupakan: Naskah-Naskah Palembang. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara.
• “Sejarah Kota Palembang”. 2008, diunduh dari unitkerja.palembang.go.id., pada 14 Desember 2009
• Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. 2008. Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam. Palembang: Kraton Kesultanan Pelambang Darussalam.
• Taufik Wijaya. 2008. “Polemik Sultan Palembang”, diunduh dari dodinp.multiply.com, pada 12 Desember 2009).

0 Response to "Kesultanan Palembang Darussalam"

Posting Komentar